Saturday, 20 September 2014

Tumbuhan yang seperti pohon kabung ini hidup berumpun, tingginya 7-10 meter dan ditemukan di tanah-tanah berbukit. Mayangnya keluar dari aksil pelepah dan disusuli oleh mayang-mayang berikutnya sehingga kepangkal batang. 

Tumbuhan ini tidak digunakan oleh masyarakat Desa kampung Pagal I sebagai bahan bangunan.

Tangkai daun apiang pada batang yang masih muda bisa digunakan sebagai bahan untuk pembuatan bubu. Ada juga masyarakat yang menggunakan tangkai daunnya untuk joran  pancing. Sedangkan, kulit pelepah daun digunakan dalam pembuatan alat musik tradisional yaitu sebagai lidah dalam alat musik yang ditiup seperti begedik dan ruding juntun (sejenis genggong).

Umbut tumbuhan ini populer dalam kalangan masyarakat suku Desa sebagai sayur. Menurut informan, umbut apiang memiliki rasa yang manis. Malahan umbut apiang kadang-kadang dijual di pasar tradisional di kota Sintang yang jaraknya 30 km dari kampung Pagal I. Ketika merayakan pesta panen padi (keramai), sayur umbut apiang seringkali ditemukan sebagai hidangan di rumah-rumah masyarakat setempat.

Tumbuhan ini tidak digunakan oleh masyarakat suku Desa di kampung Pagal I dalam pengobatan.

Alat musik tradisional ruding digunakan dalam ritual pemberian makanan kepada dewa-dewa yaitu bedarak [bədaɣaʔ] dalam bahasa Desa. Alat musik ini dibunyikan untuk memanggil Petara, Inik Andan dan Suli Belunan. Petara adalah dewa tertinggi dalam masyarakat Desa. Inik Andan [ini? andan] adalah nama dewa yang menghuni bulan, corak hitam pada bulan itulah yang sering dirujuk sebagai Inik Andan. Suli Belunan adalah raja kana dan juga merupakan  pesuruh (ulun) Petara. Alat musik ini juga digunakan dalam ritual semasa semanang melepaskan rohnya dari badan (berlayar) dan dibunyikan ketika roh semanang tersesat di alam gaib agar roh semanang tersebut dapat pulang ke badan semanang. Menurut Encik Nawan, ruding hanya dapat dipinjam ketika melakukan ritual saja. Orang yang membunyikan ruding ini adalah pebayu (orang yang membantu semanang ketika ritual).

Ruding kulit pelepah daun apiang juga digunakan dalam adat kematian. Orang yang ikut serta dalam mengantar jenazah ke pemakaman dan keluarga orang yang meninggal akan berpantang selama lima hari, pada hari ke enam tidak diwajibkan lagi untuk berpantang, tetapi hari ketujuh harus berpantang lagi. Pada hari ketujuh itu lah, alat musik ruding dibunyikan sebagai tanda berakhirnya masa pantang. Bagi keluarga lainnya hanya diwajibkan berpantang 1-3 hari. Masa pantang ini disebut diau. Pantangan dalam adat kematian ini seperti tidak boleh bekerja, berpantun, tertawa dan bercanda. Sekarang penggunaan ruding dalam adat kematian tidak digunakan lagi dan ritual kematian secara tradisional di kampung Pagal I sudah digantikan dengan ritual keagamaan Katolik.

Dalam hal percintaan, ruding apiang dahulu digunakan untuk memikat hati lawan jenis. Ruding apiang dibunyikan ketika lawan jenis yang ingin dipikat duduk di papan yang sama. Kemudian dengan mengucapkan mantra berikut :

ingan manuk ingan aku [iŋan manuəɁ iŋan aku]
(suara ayam suara saya)
ingan ukuy ingan aku [iŋan ukuy iŋan aku]
(suara anjing suara saya)

Kata-kata mantra di atas diucapkan supaya suara apapun yang didengar oleh orang yang hendak dipikat terdengar seolah-olah suara orang yang ingin memikatnya. Dalam mantra ini bukan hanya suara ayam dan anjing yang bisa disebutkan, tetapi suara apa saja yang terdengar bunyinya ketika mengucapkan mantra itu. Namun tradisi penggunaannya sebagai pemikat hati tidak lagi dipraktekkan pada masa kini. 
Oncosperma horridum dikenal oleh masyarakat suku Desa dengan nama nibung. Dalam masyarakat Melayu Oncosperma horridum dikenal dengan nama bayas. Sedangkan nama nibung dalam masyarakat Melayu merujuk kepada Oncosperma tigillarium (lihat Burkill 1966; Whitmore 1979). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan nibung dalam bahasa Desa adalah spesies Oncosperma horridum. Tumbuhan ini hidup secara berumpun, dalam satu rumpun dapat mencapai 5 batang atau lebih. Ketinggiannya pula bisa mencapai 20-30 meter. Batang nibung biasanya lurus, mempunyai duri-duri yang keras, tajam dan panjang serta berwarna hitam, lebih-lebih lagi ketika muda. Rupa bentuknya seakan-akan sama dengan pohon Oncosperma tigillarium, tetapi batangnya lebih besar dan tumbuh di hutan-hutan dataran rendah dan berbukit. Sedangkan Oncosperma tigillarium umumnya ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan paya berair payau di tepi-tepi laut (Heyne 1988).

Menurut masyarakat setempat, batang nibung yang telah dibelah-belah dapat digunakan sebagai lantai. Namun, sebagian orang Desa di Kampung Pagal I tidak mau menggunakan tumbuhan ini sebagai bahan dalam pembuatan rumah. Hal itu disebabkan oleh kepercayaan sebagian masyarakat yang beranggapan, bahwa pohon ini adalah pohon keramat. Sehingga apabila digunakan sebagai bahan rumah dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada penghuninya. 

Batang nibung digunakan untuk membuat senjata tajam. Senjata yang terbuat dari batang nibung seperti tombak (seligi), parang, ketepel panah dan pemukul tembung (belantan atau cota). Bagian lainnya yang digunakan sebagai senjata adalah duri. Duri nibung dahulu digunakan sebagai perangkap kaki yang diletakkan pada jalan (jerungkang). Penggunaannya dilakukan ketika orang belum menggunakan sendal seperti sekarang.  

Bagian tumbuhan nibung yang umum dimakan oleh masyarakat suku Desa yaitu umbutnya yang diolah sebagai sayur. Namun masyarakat suku ini di Kampung Pagal I jarang memakan umbut nibung, karena tumbuhan ini tidak banyak terdapat di kawasan mereka. Pengambilan umbut nibung lebih cenderung dilakukan apabila tumbuhan ini terdapat di dalam kawasan hutan yang akan dijadikan tempat ladang berpindah. Menurut masyarakat setempat, orang yang berkelakuan agak gila (ngempalak) tidak boleh memakan umbut nibung, karena akan menyebabkan orang itu menjadi betul-betul gila. Pantangan memakan umbut nibung juga berlaku untuk semanang dan keturunannya.

Buah nibung digunakan untuk mengobati kulit yang gatal. Cara pengobatan dilakukan dengan meminum air rebusan buahnya. Akar nibung juga digunakan dalam pengobatan tradisional, namun lebih bersifat ritual. Burkill (1966) mengatakan, meminum air rebusan akarnya dipercayai oleh masyarakat lokal di Semenanjung Malaysia dapat mengobati demam. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, nibung merupakan tumbuhan yang dianggap keramat oleh suku Desa, sehingga dipercayai tumbuhan ini tidak bisa ditebang sesuka hati. Mayangnya digunakan dalam ritual betibuk [bətibuʔ] dan betimak [bətimb]. Betibuk adalah acara pengangkatan semanang (“dukun”) baru yang dilakukan oleh orang yang sudah menjadi semanang. Sedangkan betimak adalah ritual untuk mengembalikan kesaktian semanang setelah kesaktiannya berkurang. Selain itu, mayang nibung juga digunakan dalam upacara ritual (belian) untuk meminta anak, apabila seorang ibu sering keguguran. Dalam ritual itu mayang nibung dikibas-kibaskan sehingga bunganya terlepas dari tangkai.

Senjata yang terbuat dari batang nibung dipercayai dapat melemahkan ilmu kebal. Penebangan nibung sebagai bahan senjata harus dilakukan dengan ritual. Ritual ini memerlukan syarat-syarat tertentu seperti pengorbanan seekor babi dan seekor ayam yang berbulu putih (manuak lansi). Syarat lainnya, seperti penebangan nibung yang dianggap keramat (mali) harus dilakukan oleh anak bungsu atau sulung. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika penebangan itu tidak dilakukan oleh anak bungsu atau anak sulung, maka batang nibung dapat mengeluarkan darah dan hilang kekuatannya.

Duri nibung juga dipercayai memiliki kekuatan mistis yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk kepada orang lain. Duri nibung itu diasapi (sampuk) dengan kemenyan dan ditusukkan pada daun senjuang (Bahasa Desa: sabang api) (Cordyline terminalis). Kemudian, bahan tersebut diletakkan di bawah rumah orang yang menjadi sasaran. Burkill (1966: 671) melaporkan banyak fungsi Cordyline terminali dalam adat dan ritual Melayu dan Iban, termasuk pemanggilan hantu. Terdapat juga kepercayaan, bahwa senjata yang terbuat dari batang nibung sebaiknya tidak diletakkan di bawah rumah atau di atas tempat tidur, karena dianggap bisa menjelma menjadi hantu dan dapat menyebabkan penghuni rumah bermimpi buruk.

Menurut seorang informan Pagal I, nibung bisa menjelma menjadi kuntil anak (berak). Nibung juga digunakan dalam pengobatan secara ritual. Bagian yang digunakan untuk mengobati pasien adalah akarnya yang tumbuh ke arah matahari terbit, sedangkan akar yang tumbuh ke arah matahari terbenam untuk hal yang berkaitan dengan niat jahat. Akar yang tumbuh ke arah matahari terbit digunakan untuk mempermudah proses bersalin. Pengambilan akar ini dilakukan tanpa pakaian dan tidak menggunakan parang. Akar nibung itu diputuskan dari batangnya dengan menggunakan kaki kanan. Sebaiknya akar yang diambil berasal dari pohon nibung yang tumbuh di tempat keramat (mali). Cara penggunaannya yaitu dengan mengunyah akar, lalu disemburkan ke kemaluan wanita ketika proses melahirkan.

Uraian di atas jelas mencerminkan kedudukan pohon nibung dalam kebudayaan masyarakat suku Desa.  Kepercayaan terhadap pohon nibung ini terlihat dalam kehidupan masyarakat terutama yang berkaitan dengan senjata untuk berperang. Ketika terjadi kerusuhan di Kalimantan Barat antara suku Kanayan dengan suku Madura tahun 1998, masyarakat kampung Pagal I melakukan penebangan nibung secara ritual. Sebagian besar penduduk masih menyimpan senjata seperti tombak, parang dan cota yang terbuat dari nibung tersebut. Pentingnya pohon nibung juga terlihat dalam sastra lisan masyarakat suku Desa.

Sastra lisan yang penting dalam kaitannya dengan penggunaan dan kepercayaan tumbuhan nibung adalah cerita tentang Keling nyumpit yang diceritakan oleh Pak Nawan. Cerita ini dinyanyikan oleh informan Pak Nawan yang berumur 70 tahun, di Pagal I pada 19 Juli 2011. Seperti yang telah dikatakan pada bab 1, Pak Nawan berperan sebagai pebayu yaitu orang yang membantu semanang dalam ritual belian. Kisahnya menceritakan tentang Keling pergi menyumpit ke dalam rimba. Keling merupakan tokoh pahlawan dalam masyarakat suku Desa. Bahkan, Keling juga merupakan pahlawan dalam suku Ibanik lainnya seperti Iban. Dalam sistem kepercayaan tradisional Keling dihormati, bahkan dipuja sebagai makhluk gaib. Menurut Richards (1981) dalam tradisi Iban, Keling adalah dewa ("deity"). Gambaran Keling pada suku Desa maupun pada suku Iban, menunjukkan kesamaan. Selain dari segi bahasa tentang tokoh utama dalam sastra lisan, menunjukkan kedekatan kedua suku ini baik secara bahasa maupun kepercayaan tradisionalnya. Pohon nibung juga penting dalam sastra lisan Iban, misalnya dalam Sandin (1977) nibung disebutkan dalam sastra yang berkaitan dengan gawai burong.

Pembukaan kana yang dinyanyikan oleh Pak Nawan di Pagal I membayangkan suasana yang sakral dan penuh mitos. Kisah ini kononnya terjadi pada zaman purba di sebuah rumah panjang yang terdiri dari seribu bilik (lawang). Dikisahkan Keling ingin pergi berburu menggunakan senjata sumpit ke dalam rimba. Kana tersebut dimulai dengan kalimat berikut:

ilaŋ cəɣita timbul jam satu kana
satu kana piaʔ ugaʔ uɣaŋ ɣumah puɲjuŋ bətaŋ səɣibu lawaŋ
bətaŋ paɲjai gəʔ pənəsai lalaŋ ɣumah bəcacah kəmuyan
bətaŋ ŋgaw lalaŋ muntan diaʔ gaʔ mə ɣaja pənan

Setelah menyebutkan beberapa gelar dan nama pujian untuk Keling dan penghuni rumah panjang lainnya, fokus naratif berpindah ke tempat yang lebih sakti dan misterius. Di tengah rimba Keling menjumpai pohon ara yang sedang berbuah dan sedang dihinggapi banyak burung enggang, kera, bekantan dan ungka.

jauh kə jauh pəjalan keliŋ səliman ŋuit sumpit
bətibuŋ puŋgaŋ bəkəlamaʔ jəman tamaʔ kəɣimbaʔ dalam
kampuŋ puaŋ, kəɣimbaʔ lapaŋ
lalu nəmu gaʔ mə kayu aɣa, kəliŋ səliman mədaʔ buɣuŋ biuʔ
bukan sikit gaʔm buɣuŋ
uː baɲaʔ mati gaʔm buɣuŋ tuʔ uː jəkuʔ kəliŋ səliman bisiʔ gaʔm,
bisiʔ mədaʔ kəɣaʔ kəlasi
udah kuit kibaʔ ya kəsuh kibaʔ kəsuh kanan,
ŋəsuh kə ipuh bətibuŋ, ŋəsuh kə ipuh bəkətiŋan
bəkə tiŋan kəliŋ səliman kəlamaʔ dah mahaʔ gaʔ məlejaʔ peŋiɣan
lalu mədaʔ gaʔ mpəliaw bulan, kəsuah balaŋ gaʔm kəsuah balaŋ
kəliŋ səliman kəsuah balaŋ kəsuah balaŋ kəling səliman ɛʔ
uː tuʔ bənuan antiʔ udah jauh nuŋguʔ gaʔ mpəliaw bulan,
kəlamaʔ lalu nugaw gaʔ mə dujuŋ
kəjaɣaʔ mali gaʔm jəɣaː

Ketika Keling  sedang bersembunyi ke bawah pohon ara untuk menyumpit ungka, tiba-tiba ia menemukan serumpun nibung yang terdiri dari tujuh batang. Namun Keling menyangka kalau nibung itu adalah pinang malam. Pohon nibung yang paling tua dari ketujuh nibung itu berbicara kepada Keling bahwa dia bukan pinang malam dan tidak bisa ditebang sembarangan. Kemudian pohon nibung itu memberitahukan kepada Keling tentang kegunaannya. Dari ketujuh pohon itu, hanya nibung tertua saja yang lelaki, sedangkan enam lainnya adalah wanita. Semakin muda pohon nibung itu, semakin cantik jelmaannya. Kutipan kana tentang kegunaan nibung tertua seperti di bawah ini.

bukan aku tuʔ pinaŋ malam aku tuʔ nibuŋ paŋkat saʔ aku tuʔ nuan
nday dətumbaŋ kəsəbaɣaŋ tumbaŋ uː nanaŋ pəŋiɣan
pəŋiɣan tuʔ nuan aku tuʔ nuan, tauʔ damiʔ kə saŋkuah
səligi tantan, untuaʔ nuan aku tuʔ ɲukuoŋ nuan maluoŋ pəniɣan, antiʔ nuan
antiʔ nuan bəkayau pagi kə piandaw bulan,

Setiap pohon nibung, mulai dari yang pertama sampai yang ketujuh, semuanya memberikan petuah kepada Keling. Petuah itu diringkaskan seperti di bawah ini, mulai dari nibung tertua sampai pohon nibung yang paling muda.

  1. Nibung ke-satu : Batang nibung digunakan untuk membuat seligi sebagai senjata dalam pencarian kepala (kayau).
  2. Nibung ke-dua : Akar nibung digunakan sebagai penangkal dan pelindung dari hantu yang berburu pada malam hari atau ketika hujan panas. Keling tidak bisa menikahi wanita sembarangan atau salah dalam memiliki keturunan, karena menyebabkan dia tidak bisa menjelma hidup lagi apabila meninggal.
  3. Nibung ke-tiga : Penggunaan babi dalam berbagai ritual ladang berpindah, rancak, belian.
  4. Nibung ke-empat : Memberikan Keling nasi tanpa sayur dan lauk. Apabila Keling bepergian tidak akan tersesat. Selain itu, Keling harus kawin dengan Kumang Sepan, adiknya Jala Jengkuan.
  5. Nibung ke-lima : Memberikan Keling selendang yang tidak bermotif (polos). Selendang ini digunakan sewaktu kembali dari perjalanan pencarian kepala. Selendang itu dinamakan selendang pantea (tenun).
  6. Nibung ke-enam : Memberikan Keling sayur dan daun kayu. Apabila daun kayu itu dibawa bersama kemanapun Keling pergi, maka Keling akan selalu mendapatkan nasi dan sayur yang hangat.
  7. Nibung ke-tujuh : Memberikan kuasa kepada Keling untuk melantik orang lain menjadi semanang dengan menggunakan mayang nibung. Orang yang akan dilantik menjadi semanang adalah orang yang setengah gila atau sering kali hendak menikam orang lain dengan senjata tajam. Apabila orang itu sudah dilantik, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu menjadi semanang atau benar-benar menjadi gila. Kemudian, Keling menerima ilmu kebal.
Cerita ini tidak hanya menggambarkan kegunaan pohon nibung dalam masyarakat suku Desa. Tetapi juga memberikan dasar dalam kepercayaan tradisional yang masih banyak diyakini oleh masyarakat suku Desa hingga kini, walaupun hampir semua suku Desa sekarang sudah memeluk agama. Dari cerita itu, kegunaan yang masih diterapkan hingga sekarang dan dapat ditemukan di rumah-rumah penduduk termasuk: Penggunaan batang nibung untuk membuat senjata yang digunakan untuk membunuh orang yang memiliki ilmu kebal. Bagian dalam cerita ini yang mendasari kepercayaan tersebut ialah karena Keling mendapatkan ilmu kebal dari pohon nibung, maka pohon nibung lah yang dapat melemahkan ilmu kebal itu. Cerita ini juga mendasari penggunaan akar nibung sebagai jimat. Akar yang tumbuhnya menghadap ke timur digunakan untuk penyembuhan, sedangkan akarnya yang menghadap ke arah barat digunakan untuk menyakiti orang lain. Selain itu, penggunaan mayang nibung oleh semanang untuk melantik calon semanang menjadi semanang. Penggunaan mayang pohon ini masih dilakukan sampai sekarang. 
dfgddgdgd

Wednesday, 20 August 2014

Kemanyang termasuk tumbuhan Zingiberaceae yang bersaiz besar dan pokoknya tumbuh secara berumpun. Tandan buahnya muncul di bahagian tengah batang. Dalam taksonomi saintifik kemanyang termasuk dalam genus Plagiostachys, Ridl., genus ini merupakan genus yang bilangannya sangat sedikit antara tumbuhan herba dalam famili Zingiberaceae yang ada di Semenanjung Malaysia dan Borneo (Burkill 1966). Di kawasan kampung Emparu dan Ransi Pendek, kemanyang amnya dapat dijumpai di pinggir hutan primer atau di hutan sekunder tua, namun kewujudannya termasuk jarang. Hal tersebut boleh disebabkan rosaknya habitat tumbuh kerana penebangan dan kebakaran hutan untuk kegiatan pertanian.
Tumbuhan kemanyang digunakan oleh dukun (semanang) dalam upacara ritual (belian) pengubatan orang yang dianggap memiliki (dihinggapi) roh tidak baik (semengat jai'). Orang yang sering sakit dianggap memiliki roh  yang tidak baik dan rohnya tersesat di dunia orang mati atau dunia roh (sebayan). Begitu juga dengan kepercayaan orang Iban bahawa orang yang memiliki semengat jai' akan mengalami keadaan yang tidak sihat seperti menderita, penyakitnya sering kambuh, hilang selera makan, gangguan mental, kelemahan otot dan lesu. Penyembuhan atau penangkapan kembali roh (semengat) pesakit yang tersesat juga menggunakan jasa semanang (Sather 2001) .
Penggunaan kemanyang dalam ritual tersebut, iaitu sebagai bahan dalam pembuatan pondok kecil (langkau) yang dijadikan simbolik rumah roh yang tersesat. Batang kemanyang digunakan sebagai lantai, manakala daunnya digunakan sebagai atap. Selain tumbuhan kemanyang, batang tumbuhan timau padi juga digunakan sebagai tiang. Penyatuan bahagian-bahagian itu menggunakan tali rotan yang sudah dibelah dan dihaluskan. Pondok yang dibina lebih kurang berukuran 35 x 20 x 35 cm, namun tidak ada ketetapan khusus mengenai saiz ini. Orang yang membuat pondok bukanlah pesakit ataupun dukun yang memimpin upacara ritual tersebut, tetapi orang lain yang dianggap mengetahui cara-cara pembuatannya.
Upacara ritual ini dimulakan ketika malam hari dan berlangsung hingga subuh. Pada masa upacara ritual berlangsung, seekor anak ayam yang masih hidup dimasukkan ke dalam pondok yang telah dibina. Sebelum upacara ritual berakhir, pondok yang terbuat daripada kemanyang tersebut dicencang-cencang dengan parang. Orang yang melakukan pencencangan pondok mestilah orang yang telah membina pondok tersebut. Sebagai upahnya, parang yang digunakan untuk mencencang menjadi milik pembuat pondok dan ia juga diupah dengan beras dua gantang (gatang ) atau wang seadanya yang diberikan oleh keluarga pesakit.
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Desa, pondok yang digunakan dalam ritual ini merupakan simbol yang melambangkan rumah roh pesakit yang ada di sebayan. Pencencangan pondok tersebut juga sebagai simbol penghancuran rumah roh pesakit yang tersesat. Dianggap bahawa roh yang ada di dunia orang mati tersebut tidak mempunyai rumah lagi dan akhirnya kembali ke alam nyata. Pengambilan roh pesakit dari sebayan juga dilakukan oleh semanang secara simbolik dengan menggunakan gatang. Berhubung dengan penggunaan tumbuhan kemanyang dalam proses penyembuhan orang sakit ini, menyebabkan adanya sebahagian masyarakat Dayak Desa yang berpantang untuk tidak memakan buah kemanyang dan tidak menggunakan batang dan daun tumbuhan ini dalam pembuatan pondok di huma.

Pada masa sekarang, pelaksanaan upacara ritual penyembuhan orang sakit yang dianggap memiliki semengat jai' sangat jarang dilakukan. Pengubatan seperti itu mulai jarang diamalkan setelah dibinanya klinik kesihatan dan hadirnya doktor di kampung, terutama semasa bermulanya program transmigrasi. Hal ini disebabkan masyarakat lebih cenderung berubat di klinik kesihatan atau menggunakan jasa jururawat atau doktor apabila sakit. Berkurangnya masyarakat yang menggunakan jasa dukun khususnya dalam pengubatan penyakit yang dianggap semengat jai', juga menyebabkan berkurangnya dukun yang mewariskan keahliannya kepada dukun yang lebih muda. Walaupun masyarakat Dayak Desa khususnya di kampung Emparu dan Ransi Pendek tidak menggunakan ritual ini lagi dalam perubatan, tetapi pokok kemanyang yang digunakan dalam ritual masih berpengaruh dalam kepercayaan masyarakat hingga sekarang. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada keyakinan masyarakat dalam pantangan untuk tidak memakan buahnya dan tidak menggunakan daun dan batang kemanyang sebagai tempat berteduh atau bahan pembuatan pondok di huma.