Tumbuhan
yang seperti pohon kabung ini hidup berumpun, tingginya 7-10 meter dan ditemukan
di tanah-tanah berbukit. Mayangnya keluar dari aksil pelepah dan disusuli oleh
mayang-mayang berikutnya sehingga kepangkal batang.
Tumbuhan
ini tidak digunakan oleh masyarakat Desa kampung Pagal I sebagai bahan
bangunan.
Tangkai
daun apiang pada batang yang masih
muda bisa digunakan sebagai bahan untuk pembuatan bubu. Ada juga masyarakat
yang menggunakan tangkai daunnya untuk joran
pancing. Sedangkan, kulit pelepah daun digunakan dalam pembuatan alat musik
tradisional yaitu sebagai lidah dalam alat musik yang ditiup seperti begedik dan ruding juntun (sejenis genggong).
Umbut
tumbuhan ini populer dalam kalangan masyarakat suku Desa sebagai sayur. Menurut
informan, umbut apiang memiliki rasa
yang manis. Malahan umbut apiang
kadang-kadang dijual di pasar tradisional di kota Sintang yang jaraknya 30 km
dari kampung Pagal I. Ketika merayakan pesta panen padi (keramai), sayur umbut apiang
seringkali ditemukan sebagai hidangan di rumah-rumah masyarakat setempat.
Tumbuhan
ini tidak digunakan oleh masyarakat suku Desa di kampung Pagal I dalam pengobatan.
Alat
musik tradisional ruding digunakan
dalam ritual pemberian makanan kepada dewa-dewa yaitu bedarak [bədaɣaʔ] dalam
bahasa Desa. Alat musik ini dibunyikan untuk memanggil Petara, Inik Andan dan
Suli Belunan. Petara adalah dewa tertinggi dalam masyarakat Desa. Inik Andan [ini? andan] adalah nama dewa yang menghuni bulan, corak
hitam pada bulan itulah yang sering dirujuk sebagai Inik Andan. Suli Belunan adalah raja kana dan juga merupakan pesuruh (ulun)
Petara. Alat musik ini juga digunakan dalam ritual semasa semanang melepaskan rohnya dari badan (berlayar) dan dibunyikan ketika roh semanang tersesat di alam gaib agar roh semanang tersebut dapat pulang ke badan semanang. Menurut Encik Nawan, ruding
hanya dapat dipinjam ketika melakukan ritual saja. Orang yang membunyikan ruding ini adalah pebayu (orang yang membantu semanang
ketika ritual).
Ruding kulit pelepah daun apiang juga digunakan dalam adat kematian. Orang yang ikut serta
dalam mengantar jenazah ke pemakaman dan keluarga orang yang meninggal akan
berpantang selama lima hari, pada hari ke enam tidak diwajibkan lagi untuk
berpantang, tetapi hari ketujuh harus berpantang lagi. Pada hari ketujuh itu
lah, alat musik ruding dibunyikan
sebagai tanda berakhirnya masa pantang. Bagi keluarga lainnya hanya diwajibkan
berpantang 1-3 hari. Masa pantang ini disebut diau. Pantangan dalam adat kematian ini seperti tidak boleh
bekerja, berpantun, tertawa dan bercanda. Sekarang penggunaan ruding dalam adat
kematian tidak digunakan lagi dan ritual kematian secara tradisional di kampung
Pagal I sudah digantikan dengan ritual keagamaan Katolik.
Dalam
hal percintaan, ruding apiang dahulu digunakan untuk memikat
hati lawan jenis. Ruding apiang dibunyikan ketika lawan jenis
yang ingin dipikat duduk di papan yang sama. Kemudian dengan mengucapkan mantra
berikut :
(suara ayam suara saya)
ingan ukuy ingan aku [iŋan ukuy iŋan aku]
(suara anjing suara saya)
Kata-kata
mantra di atas diucapkan supaya suara apapun yang didengar oleh orang yang hendak
dipikat terdengar seolah-olah suara orang yang ingin memikatnya. Dalam mantra
ini bukan hanya suara ayam dan anjing yang bisa disebutkan, tetapi suara apa saja
yang terdengar bunyinya ketika mengucapkan mantra itu. Namun tradisi penggunaannya
sebagai pemikat hati tidak lagi dipraktekkan pada masa kini.
0 comments:
Post a Comment