Oncosperma horridum dikenal oleh masyarakat suku Desa dengan nama nibung.
Dalam masyarakat Melayu Oncosperma
horridum dikenal dengan nama bayas. Sedangkan nama nibung dalam masyarakat
Melayu merujuk kepada Oncosperma
tigillarium (lihat Burkill 1966; Whitmore 1979). Dalam tulisan ini yang
dimaksudkan dengan nibung dalam bahasa Desa adalah spesies Oncosperma horridum. Tumbuhan ini hidup secara berumpun, dalam satu
rumpun dapat mencapai 5 batang atau lebih. Ketinggiannya pula bisa mencapai
20-30 meter. Batang nibung biasanya lurus, mempunyai duri-duri yang keras, tajam
dan panjang serta berwarna hitam, lebih-lebih lagi ketika muda.
Rupa bentuknya seakan-akan sama dengan pohon Oncosperma tigillarium, tetapi batangnya lebih besar dan tumbuh di
hutan-hutan dataran rendah dan berbukit. Sedangkan Oncosperma
tigillarium umumnya ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan paya berair payau
di tepi-tepi laut (Heyne 1988).
Menurut
masyarakat setempat, batang nibung yang telah dibelah-belah dapat digunakan sebagai
lantai. Namun, sebagian orang Desa di Kampung Pagal I tidak mau menggunakan tumbuhan
ini sebagai bahan dalam pembuatan rumah. Hal itu disebabkan oleh kepercayaan sebagian
masyarakat yang beranggapan, bahwa pohon ini adalah pohon keramat. Sehingga apabila
digunakan sebagai bahan rumah dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada penghuninya.
Batang
nibung digunakan untuk membuat senjata tajam. Senjata yang terbuat dari batang nibung
seperti tombak (seligi), parang, ketepel
panah dan pemukul tembung (belantan
atau cota). Bagian lainnya yang digunakan sebagai senjata adalah
duri. Duri nibung dahulu digunakan sebagai perangkap kaki yang diletakkan pada
jalan (jerungkang). Penggunaannya
dilakukan ketika orang belum menggunakan sendal seperti sekarang.
Bagian
tumbuhan nibung yang umum dimakan oleh masyarakat suku Desa yaitu umbutnya yang
diolah sebagai sayur. Namun masyarakat suku ini di Kampung Pagal I jarang
memakan umbut nibung, karena tumbuhan ini tidak banyak terdapat di kawasan mereka.
Pengambilan umbut nibung lebih cenderung dilakukan apabila tumbuhan ini terdapat
di dalam kawasan hutan yang akan dijadikan tempat ladang berpindah. Menurut
masyarakat setempat, orang yang berkelakuan agak gila (ngempalak) tidak boleh memakan umbut nibung, karena akan
menyebabkan orang itu menjadi betul-betul gila. Pantangan memakan umbut nibung
juga berlaku untuk semanang dan
keturunannya.
Buah
nibung digunakan untuk mengobati kulit yang gatal. Cara pengobatan dilakukan
dengan meminum air rebusan buahnya. Akar nibung juga digunakan dalam pengobatan
tradisional, namun lebih bersifat ritual. Burkill (1966) mengatakan, meminum air rebusan akarnya dipercayai oleh masyarakat lokal di Semenanjung Malaysia dapat mengobati demam.
Seperti
yang telah disebutkan di atas, nibung merupakan tumbuhan yang dianggap keramat
oleh suku Desa, sehingga dipercayai tumbuhan ini tidak bisa ditebang sesuka
hati. Mayangnya digunakan dalam ritual betibuk
[bətibuʔ] dan betimak [bətimbaʔ].
Betibuk adalah acara pengangkatan semanang (“dukun”) baru yang dilakukan
oleh orang yang sudah menjadi semanang.
Sedangkan betimak adalah ritual untuk
mengembalikan kesaktian semanang
setelah kesaktiannya berkurang. Selain itu, mayang nibung juga digunakan dalam upacara
ritual (belian) untuk meminta anak,
apabila seorang ibu sering keguguran. Dalam ritual itu mayang nibung
dikibas-kibaskan sehingga bunganya terlepas dari tangkai.
Senjata
yang terbuat dari batang nibung dipercayai dapat melemahkan ilmu
kebal. Penebangan nibung sebagai bahan senjata harus dilakukan dengan ritual.
Ritual ini memerlukan syarat-syarat tertentu seperti pengorbanan seekor babi
dan seekor ayam yang berbulu putih (manuak
lansi). Syarat lainnya, seperti penebangan nibung yang dianggap keramat (mali) harus dilakukan oleh anak bungsu atau
sulung. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika penebangan itu tidak
dilakukan oleh anak bungsu atau anak sulung, maka batang nibung dapat
mengeluarkan darah dan hilang kekuatannya.
Duri
nibung juga dipercayai memiliki kekuatan mistis yang dapat digunakan sebagai
bahan untuk menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk kepada orang lain. Duri nibung
itu diasapi (sampuk) dengan kemenyan dan ditusukkan pada daun senjuang (Bahasa
Desa: sabang api) (Cordyline terminalis). Kemudian, bahan
tersebut diletakkan di bawah rumah orang yang menjadi sasaran. Burkill (1966: 671) melaporkan banyak fungsi Cordyline terminali dalam adat dan ritual Melayu dan Iban, termasuk pemanggilan hantu. Terdapat juga kepercayaan, bahwa senjata yang terbuat dari batang nibung sebaiknya
tidak diletakkan di bawah rumah atau di atas tempat tidur, karena dianggap bisa
menjelma menjadi hantu dan dapat menyebabkan penghuni rumah bermimpi buruk.
Menurut
seorang informan Pagal I, nibung bisa menjelma menjadi kuntil anak (berak). Nibung juga digunakan dalam pengobatan
secara ritual. Bagian yang digunakan untuk mengobati pasien adalah akarnya yang
tumbuh ke arah matahari terbit, sedangkan akar yang tumbuh ke arah matahari
terbenam untuk hal yang berkaitan dengan niat jahat. Akar yang tumbuh ke arah
matahari terbit digunakan untuk mempermudah proses bersalin. Pengambilan akar
ini dilakukan tanpa pakaian dan tidak menggunakan parang. Akar nibung itu
diputuskan dari batangnya dengan menggunakan kaki kanan. Sebaiknya akar yang
diambil berasal dari pohon nibung yang tumbuh di tempat keramat (mali). Cara penggunaannya yaitu dengan
mengunyah akar, lalu disemburkan ke kemaluan wanita ketika proses melahirkan.
Uraian
di atas jelas mencerminkan kedudukan pohon nibung dalam kebudayaan masyarakat suku
Desa. Kepercayaan terhadap pohon nibung
ini terlihat dalam kehidupan masyarakat terutama yang berkaitan dengan senjata
untuk berperang. Ketika terjadi kerusuhan di Kalimantan Barat antara suku
Kanayan dengan suku Madura tahun 1998, masyarakat kampung Pagal I melakukan
penebangan nibung secara ritual. Sebagian besar penduduk masih menyimpan
senjata seperti tombak, parang dan cota yang terbuat dari nibung tersebut.
Pentingnya pohon nibung juga terlihat dalam sastra lisan masyarakat suku Desa.
Sastra
lisan yang penting dalam kaitannya dengan penggunaan dan kepercayaan tumbuhan nibung
adalah cerita tentang Keling nyumpit
yang diceritakan oleh Pak Nawan. Cerita ini dinyanyikan oleh informan Pak Nawan
yang berumur 70 tahun, di Pagal I pada 19 Juli 2011. Seperti yang telah
dikatakan pada bab 1, Pak Nawan berperan sebagai pebayu yaitu orang yang membantu semanang dalam ritual belian.
Kisahnya menceritakan tentang Keling pergi menyumpit ke dalam rimba. Keling
merupakan tokoh pahlawan dalam masyarakat suku Desa. Bahkan, Keling juga
merupakan pahlawan dalam suku Ibanik lainnya seperti Iban. Dalam sistem
kepercayaan tradisional Keling dihormati, bahkan dipuja sebagai makhluk gaib.
Menurut Richards (1981) dalam tradisi Iban, Keling adalah dewa ("deity"). Gambaran Keling pada suku
Desa maupun pada suku Iban, menunjukkan kesamaan. Selain dari segi bahasa
tentang tokoh utama dalam sastra lisan, menunjukkan kedekatan kedua suku ini
baik secara bahasa maupun kepercayaan tradisionalnya. Pohon nibung juga penting
dalam sastra lisan Iban, misalnya dalam Sandin (1977) nibung disebutkan dalam sastra
yang berkaitan dengan gawai burong.
Pembukaan
kana yang dinyanyikan oleh Pak Nawan
di Pagal I membayangkan suasana yang sakral dan penuh mitos. Kisah ini kononnya
terjadi pada zaman purba di sebuah rumah panjang yang terdiri dari seribu bilik
(lawang). Dikisahkan Keling ingin
pergi berburu menggunakan senjata sumpit ke dalam rimba. Kana tersebut dimulai dengan kalimat berikut:
satu kana piaʔ ugaʔ uɣaŋ ɣumah puɲjuŋ bətaŋ səɣibu lawaŋ
bətaŋ paɲjai gəʔ pənəsai lalaŋ ɣumah bəcacah kəmuyan
bətaŋ ŋgaw lalaŋ muntan diaʔ gaʔ mə ɣaja pənan
Setelah
menyebutkan beberapa gelar dan nama pujian untuk Keling dan penghuni rumah
panjang lainnya, fokus naratif berpindah ke tempat yang lebih sakti dan
misterius. Di tengah rimba Keling menjumpai pohon ara yang sedang berbuah dan sedang
dihinggapi banyak burung enggang, kera, bekantan dan ungka.
bətibuŋ puŋgaŋ bəkəlamaʔ jəman tamaʔ kəɣimbaʔ dalam
kampuŋ puaŋ, kəɣimbaʔ lapaŋ
lalu nəmu gaʔ mə kayu aɣa, kəliŋ səliman mədaʔ buɣuŋ biuʔ
bukan sikit gaʔm buɣuŋ
uː baɲaʔ mati gaʔm buɣuŋ tuʔ uː jəkuʔ kəliŋ səliman bisiʔ gaʔm,
bisiʔ mədaʔ kəɣaʔ kəlasi
udah kuit kibaʔ ya kəsuh kibaʔ kəsuh kanan,
ŋəsuh kə ipuh bətibuŋ, ŋəsuh kə ipuh bəkətiŋan
bəkə tiŋan kəliŋ səliman kəlamaʔ dah mahaʔ gaʔ məlejaʔ peŋiɣan
lalu mədaʔ gaʔ mpəliaw bulan, kəsuah balaŋ gaʔm kəsuah balaŋ
kəliŋ səliman kəsuah balaŋ kəsuah balaŋ kəling səliman ɛʔ
uː tuʔ bənuan antiʔ udah jauh nuŋguʔ gaʔ mpəliaw bulan,
kəlamaʔ lalu nugaw gaʔ mə dujuŋ
kəjaɣaʔ mali gaʔm jəɣaː
Ketika
Keling sedang bersembunyi ke bawah pohon
ara untuk menyumpit ungka, tiba-tiba ia menemukan serumpun nibung yang terdiri
dari tujuh batang. Namun Keling menyangka kalau nibung itu adalah pinang malam.
Pohon nibung yang paling tua dari ketujuh nibung itu berbicara kepada Keling
bahwa dia bukan pinang malam dan tidak bisa ditebang sembarangan. Kemudian
pohon nibung itu memberitahukan kepada Keling tentang kegunaannya. Dari ketujuh
pohon itu, hanya nibung tertua saja yang lelaki, sedangkan enam lainnya adalah
wanita. Semakin muda pohon nibung itu, semakin cantik jelmaannya. Kutipan kana tentang kegunaan nibung tertua
seperti di bawah ini.
nday dətumbaŋ kəsəbaɣaŋ tumbaŋ uː nanaŋ pəŋiɣan
pəŋiɣan tuʔ nuan aku tuʔ nuan, tauʔ damiʔ kə saŋkuah
səligi tantan, untuaʔ nuan aku tuʔ ɲukuoŋ nuan maluoŋ pəniɣan, antiʔ nuan
antiʔ nuan bəkayau pagi kə piandaw bulan,
Setiap
pohon nibung, mulai dari yang pertama sampai yang ketujuh, semuanya memberikan
petuah kepada Keling. Petuah itu diringkaskan seperti di bawah ini, mulai dari nibung
tertua sampai pohon nibung yang paling muda.
- Nibung ke-satu : Batang nibung digunakan untuk membuat seligi sebagai senjata dalam pencarian kepala (kayau).
- Nibung ke-dua : Akar nibung digunakan sebagai penangkal dan pelindung dari hantu yang berburu pada malam hari atau ketika hujan panas. Keling tidak bisa menikahi wanita sembarangan atau salah dalam memiliki keturunan, karena menyebabkan dia tidak bisa menjelma hidup lagi apabila meninggal.
- Nibung ke-tiga : Penggunaan babi dalam berbagai ritual ladang berpindah, rancak, belian.
- Nibung ke-empat : Memberikan Keling nasi tanpa sayur dan lauk. Apabila Keling bepergian tidak akan tersesat. Selain itu, Keling harus kawin dengan Kumang Sepan, adiknya Jala Jengkuan.
- Nibung ke-lima : Memberikan Keling selendang yang tidak bermotif (polos). Selendang ini digunakan sewaktu kembali dari perjalanan pencarian kepala. Selendang itu dinamakan selendang pantea (tenun).
- Nibung ke-enam : Memberikan Keling sayur dan daun kayu. Apabila daun kayu itu dibawa bersama kemanapun Keling pergi, maka Keling akan selalu mendapatkan nasi dan sayur yang hangat.
- Nibung ke-tujuh : Memberikan kuasa kepada Keling untuk melantik orang lain menjadi semanang dengan menggunakan mayang nibung. Orang yang akan dilantik menjadi semanang adalah orang yang setengah gila atau sering kali hendak menikam orang lain dengan senjata tajam. Apabila orang itu sudah dilantik, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu menjadi semanang atau benar-benar menjadi gila. Kemudian, Keling menerima ilmu kebal.
dfgddgdgd
tolong berikan saya sumber kesusasteraan?
ReplyDeleteDari tulisan diatas
Kalau duri Nibong apa manfaat dan khasiat nya,bagaimana cara menggunakan nya.
ReplyDelete