Saturday, 20 September 2014

Oncosperma horridum dikenal oleh masyarakat suku Desa dengan nama nibung. Dalam masyarakat Melayu Oncosperma horridum dikenal dengan nama bayas. Sedangkan nama nibung dalam masyarakat Melayu merujuk kepada Oncosperma tigillarium (lihat Burkill 1966; Whitmore 1979). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan nibung dalam bahasa Desa adalah spesies Oncosperma horridum. Tumbuhan ini hidup secara berumpun, dalam satu rumpun dapat mencapai 5 batang atau lebih. Ketinggiannya pula bisa mencapai 20-30 meter. Batang nibung biasanya lurus, mempunyai duri-duri yang keras, tajam dan panjang serta berwarna hitam, lebih-lebih lagi ketika muda. Rupa bentuknya seakan-akan sama dengan pohon Oncosperma tigillarium, tetapi batangnya lebih besar dan tumbuh di hutan-hutan dataran rendah dan berbukit. Sedangkan Oncosperma tigillarium umumnya ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan paya berair payau di tepi-tepi laut (Heyne 1988).

Menurut masyarakat setempat, batang nibung yang telah dibelah-belah dapat digunakan sebagai lantai. Namun, sebagian orang Desa di Kampung Pagal I tidak mau menggunakan tumbuhan ini sebagai bahan dalam pembuatan rumah. Hal itu disebabkan oleh kepercayaan sebagian masyarakat yang beranggapan, bahwa pohon ini adalah pohon keramat. Sehingga apabila digunakan sebagai bahan rumah dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada penghuninya. 

Batang nibung digunakan untuk membuat senjata tajam. Senjata yang terbuat dari batang nibung seperti tombak (seligi), parang, ketepel panah dan pemukul tembung (belantan atau cota). Bagian lainnya yang digunakan sebagai senjata adalah duri. Duri nibung dahulu digunakan sebagai perangkap kaki yang diletakkan pada jalan (jerungkang). Penggunaannya dilakukan ketika orang belum menggunakan sendal seperti sekarang.  

Bagian tumbuhan nibung yang umum dimakan oleh masyarakat suku Desa yaitu umbutnya yang diolah sebagai sayur. Namun masyarakat suku ini di Kampung Pagal I jarang memakan umbut nibung, karena tumbuhan ini tidak banyak terdapat di kawasan mereka. Pengambilan umbut nibung lebih cenderung dilakukan apabila tumbuhan ini terdapat di dalam kawasan hutan yang akan dijadikan tempat ladang berpindah. Menurut masyarakat setempat, orang yang berkelakuan agak gila (ngempalak) tidak boleh memakan umbut nibung, karena akan menyebabkan orang itu menjadi betul-betul gila. Pantangan memakan umbut nibung juga berlaku untuk semanang dan keturunannya.

Buah nibung digunakan untuk mengobati kulit yang gatal. Cara pengobatan dilakukan dengan meminum air rebusan buahnya. Akar nibung juga digunakan dalam pengobatan tradisional, namun lebih bersifat ritual. Burkill (1966) mengatakan, meminum air rebusan akarnya dipercayai oleh masyarakat lokal di Semenanjung Malaysia dapat mengobati demam. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, nibung merupakan tumbuhan yang dianggap keramat oleh suku Desa, sehingga dipercayai tumbuhan ini tidak bisa ditebang sesuka hati. Mayangnya digunakan dalam ritual betibuk [bətibuʔ] dan betimak [bətimb]. Betibuk adalah acara pengangkatan semanang (“dukun”) baru yang dilakukan oleh orang yang sudah menjadi semanang. Sedangkan betimak adalah ritual untuk mengembalikan kesaktian semanang setelah kesaktiannya berkurang. Selain itu, mayang nibung juga digunakan dalam upacara ritual (belian) untuk meminta anak, apabila seorang ibu sering keguguran. Dalam ritual itu mayang nibung dikibas-kibaskan sehingga bunganya terlepas dari tangkai.

Senjata yang terbuat dari batang nibung dipercayai dapat melemahkan ilmu kebal. Penebangan nibung sebagai bahan senjata harus dilakukan dengan ritual. Ritual ini memerlukan syarat-syarat tertentu seperti pengorbanan seekor babi dan seekor ayam yang berbulu putih (manuak lansi). Syarat lainnya, seperti penebangan nibung yang dianggap keramat (mali) harus dilakukan oleh anak bungsu atau sulung. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika penebangan itu tidak dilakukan oleh anak bungsu atau anak sulung, maka batang nibung dapat mengeluarkan darah dan hilang kekuatannya.

Duri nibung juga dipercayai memiliki kekuatan mistis yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk kepada orang lain. Duri nibung itu diasapi (sampuk) dengan kemenyan dan ditusukkan pada daun senjuang (Bahasa Desa: sabang api) (Cordyline terminalis). Kemudian, bahan tersebut diletakkan di bawah rumah orang yang menjadi sasaran. Burkill (1966: 671) melaporkan banyak fungsi Cordyline terminali dalam adat dan ritual Melayu dan Iban, termasuk pemanggilan hantu. Terdapat juga kepercayaan, bahwa senjata yang terbuat dari batang nibung sebaiknya tidak diletakkan di bawah rumah atau di atas tempat tidur, karena dianggap bisa menjelma menjadi hantu dan dapat menyebabkan penghuni rumah bermimpi buruk.

Menurut seorang informan Pagal I, nibung bisa menjelma menjadi kuntil anak (berak). Nibung juga digunakan dalam pengobatan secara ritual. Bagian yang digunakan untuk mengobati pasien adalah akarnya yang tumbuh ke arah matahari terbit, sedangkan akar yang tumbuh ke arah matahari terbenam untuk hal yang berkaitan dengan niat jahat. Akar yang tumbuh ke arah matahari terbit digunakan untuk mempermudah proses bersalin. Pengambilan akar ini dilakukan tanpa pakaian dan tidak menggunakan parang. Akar nibung itu diputuskan dari batangnya dengan menggunakan kaki kanan. Sebaiknya akar yang diambil berasal dari pohon nibung yang tumbuh di tempat keramat (mali). Cara penggunaannya yaitu dengan mengunyah akar, lalu disemburkan ke kemaluan wanita ketika proses melahirkan.

Uraian di atas jelas mencerminkan kedudukan pohon nibung dalam kebudayaan masyarakat suku Desa.  Kepercayaan terhadap pohon nibung ini terlihat dalam kehidupan masyarakat terutama yang berkaitan dengan senjata untuk berperang. Ketika terjadi kerusuhan di Kalimantan Barat antara suku Kanayan dengan suku Madura tahun 1998, masyarakat kampung Pagal I melakukan penebangan nibung secara ritual. Sebagian besar penduduk masih menyimpan senjata seperti tombak, parang dan cota yang terbuat dari nibung tersebut. Pentingnya pohon nibung juga terlihat dalam sastra lisan masyarakat suku Desa.

Sastra lisan yang penting dalam kaitannya dengan penggunaan dan kepercayaan tumbuhan nibung adalah cerita tentang Keling nyumpit yang diceritakan oleh Pak Nawan. Cerita ini dinyanyikan oleh informan Pak Nawan yang berumur 70 tahun, di Pagal I pada 19 Juli 2011. Seperti yang telah dikatakan pada bab 1, Pak Nawan berperan sebagai pebayu yaitu orang yang membantu semanang dalam ritual belian. Kisahnya menceritakan tentang Keling pergi menyumpit ke dalam rimba. Keling merupakan tokoh pahlawan dalam masyarakat suku Desa. Bahkan, Keling juga merupakan pahlawan dalam suku Ibanik lainnya seperti Iban. Dalam sistem kepercayaan tradisional Keling dihormati, bahkan dipuja sebagai makhluk gaib. Menurut Richards (1981) dalam tradisi Iban, Keling adalah dewa ("deity"). Gambaran Keling pada suku Desa maupun pada suku Iban, menunjukkan kesamaan. Selain dari segi bahasa tentang tokoh utama dalam sastra lisan, menunjukkan kedekatan kedua suku ini baik secara bahasa maupun kepercayaan tradisionalnya. Pohon nibung juga penting dalam sastra lisan Iban, misalnya dalam Sandin (1977) nibung disebutkan dalam sastra yang berkaitan dengan gawai burong.

Pembukaan kana yang dinyanyikan oleh Pak Nawan di Pagal I membayangkan suasana yang sakral dan penuh mitos. Kisah ini kononnya terjadi pada zaman purba di sebuah rumah panjang yang terdiri dari seribu bilik (lawang). Dikisahkan Keling ingin pergi berburu menggunakan senjata sumpit ke dalam rimba. Kana tersebut dimulai dengan kalimat berikut:

ilaŋ cəɣita timbul jam satu kana
satu kana piaʔ ugaʔ uɣaŋ ɣumah puɲjuŋ bətaŋ səɣibu lawaŋ
bətaŋ paɲjai gəʔ pənəsai lalaŋ ɣumah bəcacah kəmuyan
bətaŋ ŋgaw lalaŋ muntan diaʔ gaʔ mə ɣaja pənan

Setelah menyebutkan beberapa gelar dan nama pujian untuk Keling dan penghuni rumah panjang lainnya, fokus naratif berpindah ke tempat yang lebih sakti dan misterius. Di tengah rimba Keling menjumpai pohon ara yang sedang berbuah dan sedang dihinggapi banyak burung enggang, kera, bekantan dan ungka.

jauh kə jauh pəjalan keliŋ səliman ŋuit sumpit
bətibuŋ puŋgaŋ bəkəlamaʔ jəman tamaʔ kəɣimbaʔ dalam
kampuŋ puaŋ, kəɣimbaʔ lapaŋ
lalu nəmu gaʔ mə kayu aɣa, kəliŋ səliman mədaʔ buɣuŋ biuʔ
bukan sikit gaʔm buɣuŋ
uː baɲaʔ mati gaʔm buɣuŋ tuʔ uː jəkuʔ kəliŋ səliman bisiʔ gaʔm,
bisiʔ mədaʔ kəɣaʔ kəlasi
udah kuit kibaʔ ya kəsuh kibaʔ kəsuh kanan,
ŋəsuh kə ipuh bətibuŋ, ŋəsuh kə ipuh bəkətiŋan
bəkə tiŋan kəliŋ səliman kəlamaʔ dah mahaʔ gaʔ məlejaʔ peŋiɣan
lalu mədaʔ gaʔ mpəliaw bulan, kəsuah balaŋ gaʔm kəsuah balaŋ
kəliŋ səliman kəsuah balaŋ kəsuah balaŋ kəling səliman ɛʔ
uː tuʔ bənuan antiʔ udah jauh nuŋguʔ gaʔ mpəliaw bulan,
kəlamaʔ lalu nugaw gaʔ mə dujuŋ
kəjaɣaʔ mali gaʔm jəɣaː

Ketika Keling  sedang bersembunyi ke bawah pohon ara untuk menyumpit ungka, tiba-tiba ia menemukan serumpun nibung yang terdiri dari tujuh batang. Namun Keling menyangka kalau nibung itu adalah pinang malam. Pohon nibung yang paling tua dari ketujuh nibung itu berbicara kepada Keling bahwa dia bukan pinang malam dan tidak bisa ditebang sembarangan. Kemudian pohon nibung itu memberitahukan kepada Keling tentang kegunaannya. Dari ketujuh pohon itu, hanya nibung tertua saja yang lelaki, sedangkan enam lainnya adalah wanita. Semakin muda pohon nibung itu, semakin cantik jelmaannya. Kutipan kana tentang kegunaan nibung tertua seperti di bawah ini.

bukan aku tuʔ pinaŋ malam aku tuʔ nibuŋ paŋkat saʔ aku tuʔ nuan
nday dətumbaŋ kəsəbaɣaŋ tumbaŋ uː nanaŋ pəŋiɣan
pəŋiɣan tuʔ nuan aku tuʔ nuan, tauʔ damiʔ kə saŋkuah
səligi tantan, untuaʔ nuan aku tuʔ ɲukuoŋ nuan maluoŋ pəniɣan, antiʔ nuan
antiʔ nuan bəkayau pagi kə piandaw bulan,

Setiap pohon nibung, mulai dari yang pertama sampai yang ketujuh, semuanya memberikan petuah kepada Keling. Petuah itu diringkaskan seperti di bawah ini, mulai dari nibung tertua sampai pohon nibung yang paling muda.

  1. Nibung ke-satu : Batang nibung digunakan untuk membuat seligi sebagai senjata dalam pencarian kepala (kayau).
  2. Nibung ke-dua : Akar nibung digunakan sebagai penangkal dan pelindung dari hantu yang berburu pada malam hari atau ketika hujan panas. Keling tidak bisa menikahi wanita sembarangan atau salah dalam memiliki keturunan, karena menyebabkan dia tidak bisa menjelma hidup lagi apabila meninggal.
  3. Nibung ke-tiga : Penggunaan babi dalam berbagai ritual ladang berpindah, rancak, belian.
  4. Nibung ke-empat : Memberikan Keling nasi tanpa sayur dan lauk. Apabila Keling bepergian tidak akan tersesat. Selain itu, Keling harus kawin dengan Kumang Sepan, adiknya Jala Jengkuan.
  5. Nibung ke-lima : Memberikan Keling selendang yang tidak bermotif (polos). Selendang ini digunakan sewaktu kembali dari perjalanan pencarian kepala. Selendang itu dinamakan selendang pantea (tenun).
  6. Nibung ke-enam : Memberikan Keling sayur dan daun kayu. Apabila daun kayu itu dibawa bersama kemanapun Keling pergi, maka Keling akan selalu mendapatkan nasi dan sayur yang hangat.
  7. Nibung ke-tujuh : Memberikan kuasa kepada Keling untuk melantik orang lain menjadi semanang dengan menggunakan mayang nibung. Orang yang akan dilantik menjadi semanang adalah orang yang setengah gila atau sering kali hendak menikam orang lain dengan senjata tajam. Apabila orang itu sudah dilantik, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu menjadi semanang atau benar-benar menjadi gila. Kemudian, Keling menerima ilmu kebal.
Cerita ini tidak hanya menggambarkan kegunaan pohon nibung dalam masyarakat suku Desa. Tetapi juga memberikan dasar dalam kepercayaan tradisional yang masih banyak diyakini oleh masyarakat suku Desa hingga kini, walaupun hampir semua suku Desa sekarang sudah memeluk agama. Dari cerita itu, kegunaan yang masih diterapkan hingga sekarang dan dapat ditemukan di rumah-rumah penduduk termasuk: Penggunaan batang nibung untuk membuat senjata yang digunakan untuk membunuh orang yang memiliki ilmu kebal. Bagian dalam cerita ini yang mendasari kepercayaan tersebut ialah karena Keling mendapatkan ilmu kebal dari pohon nibung, maka pohon nibung lah yang dapat melemahkan ilmu kebal itu. Cerita ini juga mendasari penggunaan akar nibung sebagai jimat. Akar yang tumbuhnya menghadap ke timur digunakan untuk penyembuhan, sedangkan akarnya yang menghadap ke arah barat digunakan untuk menyakiti orang lain. Selain itu, penggunaan mayang nibung oleh semanang untuk melantik calon semanang menjadi semanang. Penggunaan mayang pohon ini masih dilakukan sampai sekarang. 
dfgddgdgd

2 comments:

  1. tolong berikan saya sumber kesusasteraan?
    Dari tulisan diatas

    ReplyDelete
  2. Kalau duri Nibong apa manfaat dan khasiat nya,bagaimana cara menggunakan nya.

    ReplyDelete